> "Tingalandalem Jumenengan" Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono XIII di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tahun ini, serasa sebegitu istimewanya buatku.
>
>
> Bagaimana tidak, kalau di tahun demi tahun sebelumnya, harus cukup puas hanya dengan melihatnya dilayar kaca, ataupun di media sosial, mengingat keberadaanku yang selalu saja masih bergiat di luar kota Solo, di Jakarta, lalu berlanjut di Sulawesi ,
>
>
> Kali ini, Sabtu 25 Januari 2025, rangkaian ke Agungan serta kesakralan prosesi tatacara adat istiadat Jumenengan Raja Solo ini bisa aku saksikan secara live, berlangsung di depan mata kepalaku sendiri,
>
> Dan.. Really amazing..
>
>
> Kemacetan jalan di seputaran Kraton Kasunanan sudah terlihat sejak pagi di Sabtu itu. Mobil ber plat nomor B paling mendominasi diantara plat nomor mobil luar kota lainnya pada antrean panjang menuju Kraton
>
>
> Ketika telah sampai di teras depan Kraton, setiap tamu Undangan harus melepas alas kaki sepanjang kenakan selop, atau bukan sepatu yang menutup tumit, ini merupakan bagian tatacara aturan yang berlaku ketika kunjungi pusat kebudayaan Solo ini.
>
>
> Setelah menandatangani buku tamu dimeja resepsionis dihadapan empat putri cantik berkebaya warna hitam yang selalu sunggingkan senyum indahnya itu, baru lah memasuki
>
> tempat diselenggarakannya acara Jumenengan,
>
>
> Jangan salah.., sebelum sampai ditempat duduk yang telah dipersiapkan itu, para tamu akan melewati halaman berpasir cukup luas
>
>
> Lalu bagaimana kaki kaki bersih yang kemungkinan jarang bersentuhan langsung dengan tanah itu harus berjalan diatas pasir tanpa alas kaki ?
>
>
> Begitulah tata aturan yang berlaku disini, terkecuali bagi yang mengenakan sepatu menutupi tumit. Sepatu formal lah istilahnya..
>
> Konon, pasir di halaman Kraton Kasunanan ini didatangkan secara khusus dari pantai Parangkusumo dan Gunung Merapi..
>
>
> Di tengah acara Jumenengan di cuaca yang redup itu, Meski berkain kebaya, tidak menghalangiku untuk berlari lari kecil kesana kemari , abadikan tiap tahapan prosesi acara adat yang berlangsung hanya satu kali dalam satu tahun itu. Ini moment mahal buatku..
>
>
> Nuansa sakral mulai terasakan ketika para Sentono dalem (pihak keluarga Kraton) mulai memasuki 'Sasono Sewoko', dengan cara "laku dodok" , yakni berjalan dengan cara berjongkok Meski kenakan kain sekalipun, hal ini bukanlah persoalan rumit bagi yang telah terbiasa ada dilingkungan ini..
>
>
> Setelah serombongan abdi dalem lakukan hal sama, telah penuhi sekeliling Pendopo Ageng berbentuk Joglo ini, aroma wewangian sakral terasa makin merebak penciuman, setidaknya penciumanku,
>
>
> Aroma wewangian daun pandan dan bunga sedap malam, ditingkahi suara gamelan (musik tradisional Jawa) yang dimainkan secara langsung itu, sungguh sanggup menciptakan nuansa sakral yang sulit diurai dengan kalimat, melainkan hanya bisa dirasai melalui penghayatan batin..sangat indah sekali ..
>
>
> Dan ketika puncak acara Tingalandalem Jumenengan PB XIII ke 21 Sabtu itu tiba, yakni munculnya sembilan penari bawakan tarian sakral "Bedoyo Ketawang", dihadapan singgasana Raja, aroma dupa serasa makin tajam menyeruak indra penciuman.
>
>
> Cuaca redup, lambaian halus daun tanaman sekeliling, serta gerakan perlahan dedaunan pohon besar karena tiupan angin di seputaran pendapi Ageng ini, mampu ciptakan suasana layaknya tengah ada dinuansa mistis ..
>
>
> "Bedoyo Ketawang" adalah memang sebuah tarian tradisional Kraton yang begitu memikat dan penuh misteri, dengan gerakan lemah gemulai diiringi Gending yang menyayat indah itu, adalah merupakan Pusaka Kraton Surakarta yang sarat akan makna. Berkait erat dengan upacara adat, religi, dan kisah cinta yang melegenda antara Raja Mataram dengan kanjeng Ratu Kidul.
>
>
> Sungguh, dibutuhkan 'ketelatenan' serta ketenangan hati, yang dipenuhi rasa "sumeleh" ( kesabaran mendalam) ketika menyaksikan tarian ini.
>
>
> Betapa tidak, Pusaka Kraton yang diturunkan oleh Eyang Panembahan Senopati dan Eyang Sultan Agung Hanyokrokusumo ini berdurasi hingga 120 menit atau dua jam, dengan gerakan tarian cenderung ritmis monoton dalam penglihatan mata.
>
>
> Bisa kebayang kan bagaimana keteguhan hati sungguh sangat dibutuhkan manakala hayati tarian sakral ini. Dan percaya tidak percaya, konon hanya Raja dan orang yang miliki mata tembus pandang saja akan bisa melihat bahwa para penari dengan busana "Dodot Ageng / basahan" itu berjumlah sepuluh orang. Meski dalam pandangan kasat mata biasa hanyalah ada sembilan penari saja yang nampak.
>
>
> Bedoyo ketawang memang bukanlah sebuah tarian biasa, bahkan kesembilan penarinya pun dituntut beberapa persyaratan diantaranya, harus dalam keadaan "bersih" , tidak sedang alami menstruasi ketika bawakan tarian ini, para penari ini juga diharuskan masih gadis atau perawan, dan belum menikah. Dua syarat ini adalah persyaratan mutlak.
>
> Selain wajib pula jalani puasa sebelum bawakan tarian sakral di acara Jumenengan ini,
>
>
> Sungguh, di Sabtu siang itu 'suguhan' tari bedoyo ketawang di Pendopo Ageng Kraton Kasunanan Surakarta, aroma dupa yang merebak, serta keheningan suasana di cuaca yang meredup itu makin menambah kentalnya nuansa sakral..
>
>
> Tidak terasa waktu bergerak menuju ketengah hari meski kesemua yang hadir masih tetap khidmat ikuti Bedoyo Ketawang yang merupakan inti dari acara Jumenengan ini.
>
>
> Dan ketika jam telah menunjuk di angka 13.00, Tingalandalem Jumenengan SISKS Pakubuwono XIII ke 21 yang dihadiri sekitar 1000 tamu undangan itu pun usai sudah..
>
>
> Kekhidmatan para Sentono dalem, abdi dalem, dan semua tamu undangan yang hadir mengikuti acara ini sungguh layak diapresiasi..
>
>
> Acara Tingalandalem Jumenengan yang diselenggarakan di setiap tahun ini, bukanlah sekedar ceremoni kebudayaan, melainkan lebih pada bentuk pelestarian tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya..
>
>
> Sebagai seorang yang terlahir dan lalu tumbuh besar di Solo, ada kebanggaan tersendiri menjadi bagian dari acara Tingalandalem Jumenengan SISKS Pakubuwono XIII ke 21 ini.
>
>
>
>